ASSESSMENT RESIKO RESIDIVIS INDONESIA (RRI), ASSESSMENT KEBUTUHAN (CRIMINOGENIC) DAN ASSESSMENT 5 DIMENSI SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA

Penulis : Joni Ihsan


Pada dasarnya, assessment merupakan istilah lain dari kata penilaian, istilah Assessment atau penilaian sendiri sangat dekat dengan istilah evaluasi yang merupakan metode untuk mengetahui hasil dari sesuatu yang akan dinilai. Assessment atau penilaian ini bisa disebut sebagai penerapan dan penggunaan berbagai cara dan alat untuk memperoleh baragam informasi. Informasi yang dimaksud tergantung dari siapa objek yang akan kita assessment, misalnya assessment kesehatan objeknya adalah pasien, maka informasi yang diinginkan adalah informasi mengenai riwayat kesehatan penderita, riwayat kesehatan keluarga penderita atau bahkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penyakit keturunan.

Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan dilaksanakan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (disingkat WBP) dan klien pemasyarakatan yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus (kecuali tindak pidana asusila, KDRT, korupsi dan terorisme karena diperlukan assessment lanjutan dengan menggunakan instrumen asessment yang khusus agar validitas penilaian lebih dapat dipertanggungjawabkan). Instrumen Assessment Risiko (Risiko Residivis – Indonesia (RR-I)) dan Assessment Kebutuhan (criminogenic) Indonesia hanya diperuntukkan bagi WBP/klien pemasyarakatan sebagai objek penilaiannya.

Negara Indonesia melalui Menteri Hukum dan HAM RI mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Resiko dan Assessment Kebutuhan Bagi WBP dan Klien Pemasyarakatan, Assessment diharapkan dapat memudahkan PK dalam melaksanakan tugas pembimbingan sehingga dapat mencegah pengulangan tindak pidana yang menjadi tolok ukur berhasil tidaknya bimbingan yang dilaksanakan oleh Bapas sehingga membantu percepatan revitalisasi pemasyarakatan.

Melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan, jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM bertekad melakukan akselerasi (percepatan) revitalisasi pemasyarakatan. Dalam peraturan Menkumham tersebut diatas, revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan adalah upaya mengoptimalkan penyelenggaraan pemasyarakatan sebagai bentuk perlakuan terhadap tahanan, WBP, dan klien serta perlindungan atas hak kepemilikan terhadap barang bukti. Revitalisasi meliputi pelayanan tahanan, pembinaan WBP, pembinaan klien, dan pengelolaan barang rampasan dan benda sitaan.

Dalam upaya revitalisasi pemasyarakatan, jajaran petugas pemasyarakatan banyak menemukan tantangan dalam rangka pembinaan WBP dan pembimbingan klien pemasyarakatan. Tantangan tersebut tidak terkecuali dirasakan oleh Balai Pemasyarakatan. Salah satu tantangan yang dirasakan oleh PK adalah bagaimana melakukan assessment yang sesuai standar penilaian, baik itu assessment resiko maupun assessment criminogenic. Ketidakcakapan seorang PK dalam melakukan kegiatan assessement resiko maka akan berdampak pada tingginya tingkat pengulangan tindak pidana, begitu juga dengan assessment criminogenic yang kurang tepat akan berakibat rencana pembimbingan (case plan) yang tertulis dalam rekomendasi litmas tidak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Assessment resiko yang dilakukan oleh PK dapat mengurangi tingkat pengulangan pidana dengan cara mengetahui dengan detail WBP dan klien mana saja yang mempunyai potensi besar akan mengulangi tindak pidana, yang dampak jangka panjangnya akan mengurangi over kapasitas WBP di Lapas yang berarti secara tidak langsung PK mengurangi beban anggaran Negara untuk mengurusi WBP dan Klien Pemasyarakatan. PK harus bisa mencari tahu siapa saja yang paling berpotensi untuk mengulangi tindak pidana, karena kepada merekalah sebenarnya focus pekerjaan yang prioritas, dengan merekalah PK bekerja, dengan demikian PK tidak akan menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan anggaran bekerja hanya untuk WBP atau Klien Pemasyarakatan yang berpotensi resiko rendah melakukan pengulangan tindak pidana, tetapi PK akan lebih fokus bekerja untuk mereka yang berpotensi resiko tinggi mengulangi tindak pidana.

Ketidakakuratan PK dalam melakukan assessement criminogenic mangakibat rekomendasi penelitian kemasyarakatan pembinaan awal tidak bisa memberikan rekomendasi yang tepat mengenai program pembinaan seperti apa yang tepat diterapkan kepada mereka, kebutuhan akan apa yang paling mereka butuhkan dan intervensi seperti apa yang dilakukan terhadap WBP dan Klien Pemasyarakatan. Namun sebaliknya dengan assessment yang baik dan memenuhi standar, akan berdampak pada rencana pembimbingan yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan, jika seorang PK sudah mengetahui apa kebutuhan yang tepat bagi klien nya, maka klien tersebut akan mendapat intervensiyang sesuai dengan apa yang ia butuhkan.

Assessment resiko maupun assessment kebutuhan, merupakan instrumen bagi PK untuk menentukan pembinaan terhadap WBP yang sedang menjalani pidananya dan menentukan pembimbingan bagi klien pemasyarakatan yang sedang menjalani masa integrasinya kedalam masyarakat melalui rekomendasi Litmas. Rekomendasi litmas yang tepat sasaran, diharapkan dapat mengurangi angka pengulangan tindak pidana, oleh karena itu dibutuhkan assessment resiko dan assessment kebutuhan secara tepat dan berkelanjutan (continuitas).

Selain berfungsi untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, assessment juga berperan sangat penting dalam mendukung percepatan revitalisasi pemasyarakatan. PK akan melakukan penelitian dan assessment awal (menggunakan instrument assessment 5 dimensi) yang akan menilai pola perilaku warga binaan pemasyarakatan yang kemudian akan menjadi penentu dalam menetapkan kategori Lapas/Rutan yang sesuai untuk warga binaan pemasyarakatan yang bersangkutan.

Melalui rekomendasi litmas awal yang menggunakan instrument assessment 5 dimensi, maka PK akan menentukan kategori WBP kedalam kategori:

1. Lapas Super Maksimum Security: Lapas yang ditempati oleh WBP yang berisiko tinggi yakni WBP yang dinilai dapat membahayakan keamanan Negara atau masyarakat. Program pembinaan yang dilakukan berupa pembinaan kesadaran beragama, bernegara, berbangsa, sadar hukum, dan konseling Psikologi yang bertujuan supaya WBP tersebut nantinya dapat dipindahkan ke Lapas maksimum security.

2. Lapas Maksimum Security: Lapas yang ditempati oleh WBP dari Lapas Super Maksimum Security yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku serta penurunan tingkat risiko. Program pembinaan yang dilakukan hampir sama dengan Lapas Maksimum Security tetapi fokus kepada rehabilitasi yang bertujuan agar WBP tersebut menyadari kesalahannya, menumbuhkan kesadaran untuk patuh terhadap hukum dan tata tertib serta peningkatan disiplin, sehingga nantinya bisa dipindahkan ke Lapas Medium Security.

3. Lapas Medium Security: Lapas yang ditempati oleh WBP dari Lapas maksimum security yang telah menunjukan perubahan sikap dan perilaku yang sadar akan kesalahan, patuh terhadap hukum dan tata tertib serta disiplin, program pembinaan yang dilakukan pendidikan dan pelatihan tingkat pemula, lanjutan, dan tingkat mahir sehingga nantinya bisa dipindahkan ke Lapas Minimum Security.

4. Lapas Minimum Security: Lapas yang ditempati oleh WBP dari Lapas Medium Security yang telah menunjukan perubahan sikap dan perilaku, peningkatan kompetensi dan kemampuan diri sesuai dengan hasil litmas dan rekomendasi dari PK.

Langkah terakhir bagi PK dalam rangka melakukan assessment adalah membuat laporan tertulis atau lisan dari Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan (criminogenic). Sebenarnya laporan ini bisa menjadi acuan bagi instansi lain yang ikut terlibat menangani klien misalnya Hakim dalam rangka memeriksa dan memutus perkaranya, JPU dalam rangka melakukan penuntutan di muka pengadilan dan Hakim Wasmat dalam rangka melakukan pengawasan dan pengamat terhadap WBP yang telah divonisnya serta yang paling utama laporan hasil assessment menjadi dasar untuk menetapkan rekomendasi Litmas. Laporan akan menggambarkan kelompok risiko dari penilaian, perubahan kelompok risiko dan faktor kebutuhan (criminogenic) WBP/klien, semua informasi yang terkait dengan karakteristik tindak pidana juga harus dilaporkan.

Inti dari laporan assessment RRI adalah merekomendasikan kepada pihak Lapas dan Rutan mengenai pengkategorian tingkat resiko mengulangi tindak pidana bagi WBP yang diintegrasikan ke dalam masyarakat menjadi kategori rendah, sedang dan tinggi. Rekomendasi kategori RRI sebenarnya sangat berguna jika benar-benar diterapkan, misalnya WBP kategori RRI “tinggi” tidak direkomendasikan untuk mengikuti program integrasi ke dalam masyarakat baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB). Jika rekomendasi asesmen RRI diabaikan, maka besar kemungkinan akan terjadi pengulangan tindak pidana.

Adapun inti dari asesmen kebutuhan adalah mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan oleh WBP selama ia menjalani masa integrasi baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB). Kebutuhan tersebut antara lain kebutuhan akan pendidikan, keuangan, lingkungan sosial, pekerjaan dan lain-lain. Jika faktor-faktor kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi selama masa integrasi baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB) maka besar juga kemungkinannya untuk mengulangi tindak pidana. 

Sedangkan inti laporan assessment 5 dimensi adalah merekomendasikan pembinaan kepada Lapas/Rutan terhadap WBP kedalam Lapas Super Maksimum Security, Lapas Maksimum Security, Lapas Medium Security atau Lapas Minimum Security sehingga pembina yang ada di Lapas/Rutan dapat memberi perlakuan yang sesuai dengan kategori WBP berdasarkan hasil assessment.

Dapat disimpulkan bahwa asesment yang tepat terhadap WBP baik itu assessment Resiko Residivis Indonesia (RRI), Asesment Kebutuhan (Criminogenic) maupun Assessment 5 Dimensi akan mengurangi resiko pengulangan tindak pidana oleh WBP selama menjalani masa integrasi baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB).


















Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.