Derita Petani Sawit Menjerit! Di Pesisir Selatan Harga TBS Anjlok

#Kota Prabumulih Target Tiga Korsi


Padang,Painan, Liputatansumsel.com -- Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sebagaimana juga terjadi di Kabupaten Pesisir selatan (Pessel), tidak saja membuat petani menjerit, tapi juga membuat pedagang mengeluh.


Saat ini harganya sudah berada pada level terendah dengan harga 1 kilogramnya Rp 600. Kondisi itu sudah terjadi sejak beberapa pekan terakhir, bahkan sejak satu pekan ini sebagian besar lahan milik petani dibiarkan begitu saja.


Salman 47, petani kelapa sawit di Nagari Kambang Utara, Kecamatan Lengayang mengatakan kepada Liputansumsel.com Kamis (7/7) mengaku bahwa dia saat ini dihadapkan dengan dua dilema.


“Sebagai petani sawit kami memang dihadapkan dengan dua dilema. Sebab dijual rugi, tidak dijual makin rugi lagi. Sementera biaya produksi tidak bisa dihindarkan setiap harinya,” keluhnya.


Ditambahkanya bahwa biaya yang dikeluarkan untuk operasional panen (angkut sawit red) Rp 300 per kilogram. Kemudian biaya angkut dari lokasi ke pedagang pengumpul Rp 200 pula per kilogram. Belum lagi biaya pemupukan setiap empat bulan nya.


“Nah, jika harga sawit hanya dihargai Rp 600 per kilogram, berarti kami sebagai petani tidak mendapatkan untung. Jika terus begini, bisa-bisa perani sawit benar-benar jatuh miskin, dan tidak lagi bisa mengolah lahan yang ada saat ini,” ungkapnya.


Keluhan yang sama juga disampaikan oleh Alisman 47, pedagang pengumpul di Nagari Kambang Utara, Kecamatan Lengayang.


Diungkapkannya bahwa berdasarkan informasi terbaru dari perusahaan CPO penampung TBS hasil panen masyarakat di daerah itu, sekarang pihak pabrik hanya membeli Rp 630 hingga Rp 885 per kilogram, dengan potongan air 10 persen.


“Ini adalah hasil informasi terbaru dari tiga pabrik CPO yang terdapat di daerah selatan Pessel. Hingga saat ini masih terlihat penumpukan TBS di perusahaan pengolahan kelapa sawit tersebut. Karena menumpuk, sehingga jelas berdampak kepada anjloknya harga. Bahkan truk saya juga sudah parkir sejak ,” katanya.


Dia menambahkan bahwa berdasarkan informasi dari pabrik, saat ini CPO menumpuk karena tidak ada ekspor.


“Ini sudah terjadi sejak dua pekan terakhir. Makanya harga TBS terus merosot hingga Rp 600 dan Rp 500 per kilogram di tingkat petani,” ucapnya.


Ditambahkan lagi bahwa akibat anjloknya harga, membuat para petani sawit juga tidak melakukan panen sejak dua pekan terakhir.


“Kondisi ini tidak saja membuat petani menjerit, tapi juga membuat kami merugi. Sebab akibat harga yang tidak menentu ini, bisa saja dalam waktu singkat harga kembali turun. Ini sudah kami alami beberapa kali. Ketika kami berani membeli TBS Rp 600 per kilogram, tau-taunya pihak pabrik menurunkan harga menjadi Rp 500. Makanya sekarang kami sebagai pedagang tidak lagi berani membeli sawit,” jelasnya.


Anggota Komisi III DPRD Pessel, Erman Syawar, ketika dihubungi Wartawan Kamis (7/7) menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan hearing dengan Dinas Pertanian Pessel, dengan juga mengundang lima pengusaha perkebunan kelapa sawit yang memiliki pabrik CPO di daerah itu.


“Melalui hearing itu kita mendesak agar pihak perusahaan bisa membeli hasil panen TBS milik petani dengan harga yang wajar. Namun harapan itu tidak tercapai dengan alasan CPO menumpuk dan ekspor tidak jalan,” katanya.


Untuk memastikan kondisi itu, sehingga pihaknya bersama anggota Komisi III DPRD Pessel, bersama Dinas Pertanian melakukan sidak ke beberapa barik tersebut.


“Ternyata yang dilihat di lapangan memang benar adanya. Tangki CPO yang terdapat di pabrik melalui sidak itu kita cek, ternyata memang benar menumpuk. Bahkan mobil pengangkut TBS juga ada yang sudah parkir mencapai seminggu,” ujarnya.


Ditambahkannya bahwa sidak ke pabrik CPO itu dilakukan Komisi III setelah melakukan hearing dengan pihak perusahaan.


“Kita ingin membuktikan kebenaran dari yang disampaikan pihak perusahaan saat hearing 15 hari lalu. Ternyata memang benar adanya. Melihat kondisi ini, maka kami meminta pemerintah pusat untuk mencarikan solusinya. Di daerah telah kami coba bersama perangkat daerah terkait, namun tidak ada solusi. Sampai saat ini petani masih membiarkan lahannya terlantar,” tutupnya menegaskan. (EL).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.